Kamis, 21 September 23

3 Tahun Bima Arya, Kemacetan di Kota Bogor Dikritisi PDI Perjuangan  

Kota Bogor yang memiliki luas sekitar 118.50 hektar dengan panjang jalan hanya 750 kilometer terkesan sulit melepaskan diri dari jerat kemacetan. Hasil kajian Dinas Perhubungan tahun 2012, laju kendaraan 20,5 km/jam. Selanjutnya, tahun 2013 menjadi 15,5 km/jam. Dari data tersebut jelas menunjukan bahwa kemacetan di Kota Bogor terus meningkat. Menjejaki 3 tahun kepemimpinan Bima Arya dan Usmar Hariman sebagai Walikota dan Wakil Walikota Bogor yang jatuh pada hari ini, Jumat (7/4/2017) ini komentar Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, Dadang Iskandar Danubrata.

“Dari data yang diketahui, setiap harinya Kota Bogor menjadi lintasan orang yang keluar dan masuk mencapai 600.000 orang, sedangkan lalu lalang kendaraan mencapai 50 ribu kendaraan di jalan utama,” tukas Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, Dadang Iskandar Danubrata kepada indeksberita.com disela kegiatan rutin Jumat Sapa Warga (Jumpa) yang digeliatkannya tiap pekan.

Ia mengatakan, problem utama kemacetan di Kota Bogor, karena banyak titik keramaian seperti bangunan komersil berpusat di lingkungan Kebun Raya Bogor (KRB). Belum lagi, sambungnya, setiap hari lalu lalang KRL Jabodetabek setiap harinya mencapai 154 kereta yang melintas di Jalan Pemuda dan Jalan RE Martadinata yang juga ikut menyumbangkan kemacetan. “Tingginya frekuensi KRL membuat Kota Bogor tidak pernah lepas dari kemacetan,” lanjutnya.

Bahkan, kemacetan panjang saat hari libur di ruas Jalan R.E Martadinata kemacetan bisa mencapai 1 kilometer.

“Hal lain, saat ini, total angkutan kota mencapai 3.412 kendaraan. Belum lagi ada 200 ribu sepeda motor serta 50 ribu mobil pribadi yang melintas, juga 12 ribu truk barang. Sementara, total luas jalan sebesar 0,1 persen per tahun, tak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang mencapai 13 persen. Solusinya? Pembangunan harus dipecah agar tidak tersentral di Kecamatan Bogor Tengah yang menjadi penyumbang kemacetan,” tuturnya.

Penyebab macet, kata politisi PDI Perjuangan tersebut, bukan hanya disebabkan karena membludaknya kendaraan semata, tapi juga buruknya tata ruang.

“Salah satu contoh di Tajur, sejumlah bangunan komersil yang jelas melanggar daerah sempadan sungai dilakukan pembiaran. Tidak hanya itu, kemacetan pun ikut terseumbang karena tidak ada konsep yang jelas soal zonanisasi. Buruknya  tata ruang di Kota Bogor tak hanya berdampak pada lalu lintas, tapi juga pada lingkungan, bahkan penyempitan Sungai Cibalok yang terjadi berpotensi terjadinya banjir,” ujarnya.

Efek buruknya tata ruang juga terlihat dengan bertambahnya mall di ruas jalan yang macet. Yang terjadi, ucapnya, kedepan kemacetan akan jadi PR tambahan lagi. Meski demikian, Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor ini mengapresiasi program rerouting dan rasionalisasi angkot yang menjadi kebijakan Pemkot untuk mengatasi kemacetan di Kota Bogor.

“Demikian juga kesepakatan angkutan online di Kota Bogor, saya apresiasi. Tapi, perlu dipikirkan juga alternatif pekerjaan bagi sopir angkot yang nantinya terkena dampak program pengurangan angkot dari pemerintah daerah. Hal lain, sebagai masukan saya, akan lebih baik dibuat perencanaan tata ruang yang terintegrasi sehingga bisa menjawab berbagai macam persoalan berkaitan dengan pembangunan kota, termasuk kemacetan. Sejauh ini saya nilai, konsistensi pemerintah daerah dalam melaksanakan aturan yang ada juga masih lemah. Misalnya saat berhadapan dengan pemodal masih lemah. Akibatnya, area yang semestinya menjadi kawasan hijau bisa menjadi bangunan komersil,” tutupnya.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait