Jakarta – Setidaknya sebanyak 27 oknum peradilan terjerat kasus korupsi dan ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak komisi itu dibentuk. Demikian catatan Komisi Pemantau Peradilan (KPP).
Teranyar, April 2016 lalu, KPK menangkap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution yang diduga menerima suap dalam upaya pengajuan peninjauan kembali. Kasus ini diduga melibatkan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Komisi Pemantau Peradilan menilai, Rangkaian kasus tersebut menunjukkan adanya praktik korupsi yudisial yang sistemik, masif, dan mengakar di institusi peradilan.
Anggota KPP Miko Ginting mengatakan, jika berkaca pada jumlah pengadilan di seluruh Indonesia yang mencapai 825 pengadilan sebagaiamana laporan tahunan MA tahun 2015), maka potensi penyimpangan juga sangat besar.
“Belum lagi persoalan pengawasan yang lemah, semakin memperbesar potensi korupsi di tubuh pengadilan,” kata Miko dalam keterangan tertulis kepada pers, Selasa (10/5/2016).
Miko menambahkan, dalam penyidikan, pengusutan KPK tak bisa hanya berhenti pada aktor-aktor yang ditangkap. Perlu ada pengembangan kasus untuk memetakan wilayah rawan korupsi di pengadilan.
Menurutnya, perkara korupsi yang melibatkan pegawai MA menunjukkan praktik korupsi di lembaga pengadilan memiliki jaringan yang luas dan kompleks.
“Kerja-kerja yang dilakukan sudah dapat dikategorikan sebagai jaringan mafia peradilan,” ujarnya.
Karena itu, pengusutan kasus ini diharapkan dapat sampai ke tahap pemetaan potensi korupsi di lembaga pengadilan.
“KPK selain memainkan fungsi penindakan, juga harus memainkan fungsi pencegahan dalam rangka memperbaiki sistem di Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya,” ujar Miko.