Minggu, 2 April 23

15 Tahun Meninggalnya Benny Moerdani

Dalam peta politik pasca-Orde Baru, nama almarhum Jenderal (Purn) Benny Moerdani masih terasa gaungnya. Seperti bunyi ungkapan lama: gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Begitu kira-kira yang terjadi pada Benny, meski telah berpulang 15 tahun lalu (29 Agustus 2004), namanya masih sering dihubung-hubungkan dengan sejumlah purnawirawan TNI yang berperan dalam konstelasi politik hari ini.

Nama-nama purnawirawan dimaksud antara lain Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970), Letjen (Purn) Agum Gumelar (Akmil 1968) dan Letjen (Purn) Hendro Priyono (Akmil 1967). Tiga nama ini hanyalah sebagian dari “anak didik” Benny Moerdani yang masih mewarnai panggung politik Indonesia mutakhir. Jejak Benny masih terasa dalam peta politik hari ini yang praktis tak mengalami perubahan signifikan sejak tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, sampai dua dekade pasca-Reformasi 1998.

Peta dimaksud adalah persaingan antara dua kubu, yakni antara TNI “merah” dan TNI “hijau”. TNI merah berafiliasi dengan figur Benny, sementara TNI hijau dianggap dekat dengan ICMI. Di masa lalu, TNI hijau sempat dipersonifikasikan dengan BJ Habibie. Namun dengan berlalunya waktu, figur Habibie (beserta ICMI) ikut memudar pula.

Pendekatan konflik

Saat masih berkuasa dulu, Soeharto mengendalikan pemerintahan dengan cara memelihara konflik di kalangan pendukungnya sendiri. Konflik antara Benny dan Habibie adalah salah satunya. Namun realitas sesungguhnya bisa jadi lebih rumit, karena salah seorang perwira kepercayaan Habibie, yakni Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan (Akmil 1963), termasuk perwira yang dianggap sangat dekat dengan Benny.

Pada saat bersamaan, Soeharto tetap berusaha membangun porosnya sendiri, sebut saja Poros Cendana, dengan Wiranto sebagai aktor utamanya. Satu nama lagi adalah Prabowo, yang saat itu masih bagian dari kerabat Cendana. Namun Prabowo dikenal memiliki aspirasi tersendiri yang tidak selalu sejalan dengan Cendana. Sejak masih pamen, Prabowo sudah berhubungan dengan generasi baru Masyumi, seperti Farid Prawiranegara dan Ahmad Sumargono. Masyumi bukan institusi (atau ideologi) yang terlalu asing bagi Prabowo, karena orang seperti Farid Prawiranegara, tak lain adalah putera dari tokoh Masyumi Sjafrudin Prawiranegara. Bila kita sedikit menengok sejarah, Sjafrudin Prawiranegara, adalah kawan seperjuangan Pak Cum (panggilan akrab Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo), dalam gerakan PRRI/Permesta.

Posisi Wiranto sebagai bagian dari poros Cendana masih terasa hingga hari ini: Wiranto hanya memperoleh alokasi kekuasaan serba terbatas dalam pemerintahan Jokowi, tak sebanding dengan jenderal lain seperti Luhut Panjaitan dan Hendro Priyono, yang memiliki akses cepat ke Jokowi secara personal. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari posisi Wiranto sejak Orde Baru, yang seolah berada di “perbatasan” antara lingkaran Cendana dan kelompok Benny.

Merujuk pada kedekatan antara Sintong dan Habibie, label merah dan hijau bukanlah jurang pemisah ideologis yang dalam. Sebutan itu sekadar cara praktis para pengamat untuk menggambarkan adanya faksi di ABRI, khususnya matra Angkatan Darat. Dalam praktik di lapangan, hubungan dua kubu tersebut bisa sangat cair karena “ideologi” yang sejati dari TNI “merah” dan TNI “jihau” sejatinya sama, yakni menggapai kekuasaan.

Ambil contoh pertemuan antara Hendro Priyono dan Muchdi Pr (Akmil 1970) dalam memimpin lembaga intelijen BIN di era Presiden Megawati. Muchdi dianggap bagian dari TNI hijau, berdasar kedekatannya dengan Prabowo dan masa lalunya sebagai aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia). Namun saat bertugas di BIN, ia bisa bekerja secara solid di bawah Hendro, sampai muncul kasus tewasnya pembela HAM Munir (September 2004).

Mengorbitkan Megawati

Selain nama-nama jenderal di atas, bayang-bayang Benny juga bisa ditemukan pada sosok Megawati Soekarnoputri. Saat masih berkuasa dulu, salah satu cara Benny untuk mengimbangi (baca: melawan) Soeharto, adalah dengan diam-diam membantu Megawati, puteri Bung Karno. Ini memang perang simbolis, pada awalnya publik juga tidak sadar. Benny sengaja mendorong karier politik Megawati, mengingat Bung Karno adalah mimpi buruk bagi Soeharto. Sementara di sisi lain, Benny merasa punya hutang budi pada Sukarno. Singkatnya tindakan Benny ibarat pisau bermata dua, yaitu melawan Soeharto, sekaligus membalas utang budinya pada Sukarno.

Utang budi terbesar Benny adalah ketika Presiden Sukarno menyematkan langsung lencana Bintang Sakti di seragam para komando Benny, saat upacara pembubaran Operasi Trikora tahun 1963.Sejak peristiwa itu nama Benny mulai dikenal secara luas, hingga akhirnya melegenda di kemudian hari. Strategi Benny bisa disebut sebagai “operasi senyap” yang memang sudah jadi spesialisasi Benny sejak lama. Sehingga publik awam kesulitan membaca langkah Benny, misalnya selama kampanye PDI menjelang Pemilu 1987 yang demikian gegap-gempita. Rasanya mustahil tak ada dukungan dari salah satu faksi elite politik di pusat kekuasaan, mengingat kampanye PDI bisa sedahsyat itu.

Benar, memang ada dukungan dari Benny yang saat itu masih menjabat Panglima ABRI (kini TNI) dan menguasai jaringan intelijen. Dukungan Benny terus berlanjut. Puncaknya adalah Peristiwa 27 Juli 1996, yang setelahnya laju nama Megawati tak tertahankan lagi. Berkat peristiwa 27 Juli 1996 pula, Megawati bersama elite PDIP lainnya bisa meraih apa yang selalu menjadi impian para politikus, yaitu kekuasaan dan kemapanan. Kejayaan ini masih dirasakannya sampai hari ini, bahkan masih mungkin terus berlanjut entah sampai kapan.

Manusia Setengah Abad

Kekuatan Benny terletak pada karisma. Konsep kharisma memang abstrak, mistis, dan mirip-mirip konsep “wahyu” dalam tradisi kekuasaan jawa (Mataram) di mana karisma atau wahyu akan jatuh pada orang-orang terpilih. Pejabat publik yang berasal dari unsur TNI tampaknya lebih berpeluang memperoleh karisma ketimbang figur sipil murni. Dan perkara karisma ini pula yang kerap diolah oleh pendukung Prabowo untuk “menjual” jagoannya.

Soal karisma ini bisa diuji hari ini dalam praktik pemerintahan Jokowi, sebut saja pada jabatan Kepala Staf Kepresidenan (KSP), yang kini dipegang Jenderal (Purn) Moeldoko (lulusan terbaik Akmil 1981). Sejak dipegang Moeldoko, jabatan KSP jadi lebih “bunyi”. Selain karena memperoleh panggung yang lebih luas dibanding ketika dipimpin Teten Masduki, tentu sebagian juga akibat karisma Moeldoko.

Generasi sebelum dan sesudah Benny banyak yang sudah mencapai jenderal penuh (bintang empat), namun karisma tidak otomatis hadir untuk mereka. Benny memang figur luar biasa yang belum tentu lahir tiap setengah abad. Di masa perang kemerdekaan ada juga figur seperti itu, yakni Oerip Sumohardjo. Jenderal yang pembawaannya juga pendiam ini memiliki karisma yang masih berpendar jauh mengarungi waktu.

Kekuatan figur Benny bisa dijelaskan dengan lebih rasional, yakni berdasarkan rekam jejaknya dalam operasi tempur dan intelijen. Terkait operasi intelijen, nama Benny sudah seperti mitos tersendiri di lingkaran komunitas intelijen. Mitos ini pula yang tak terhindarkan saat membaca “jejak” Benny dalam konstelasi politik hari ini.

 

Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu
Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait